Pagi ini hujan turun lebih awal, seperti biasa kuseduh teh Rosella, teh yang berwarna merah ini yang menemaniku untuk memulihkan energi, fokus, dan pikiran.
Kurasakan bunyi kretek di badanku, berderu normal, dan biasa saja. Ku minum teh perlahan, lalu kuhirup udara yang basah bercampur air hujan. Rasanya begitu wangi ketika aroma teh dan aroma air hujan bertabrakan satu sama lain.
Aku candu dengan suasana ini, sejenak lupa dengan segala masalah duniawi yang sedang berperang di dalam hati dan pikiranku.
Kulihat pohon mangga membisu, bendera merah putih yang di atas rumah diam ketika diguyur hujan, tak lagi berkibar. Ia membeku, tak ada rona sumringah di garis warnanya.
Kemudian kualihkan pandangan ke selokan yang sudah penuh dengan air hujan, tak ada ikannya. Pinggiran selokan itu ditimbuhi bunga kertas, bunganya hanya mekar sebanyak lima tangkai. Tangkai yang lain mengering, namun kini telah dibasahi oleh hujan.
Butir-butir hujan jatuh berirama di halaman yang tergenang depan rumah dan menciptakan lingkaran-lingkaran kecil yang hilang dalam hitungan detik. Suara rintik hujan berpadu dengan gemericik air yang mengalir dari talang rumah. Sesekali angin membawa aroma tanah yang basah, aroma yang selalu membuatku rindu masa kecil.
Dulu, saat pagi hujan turun, aku akan berlari keluar rumah tanpa alas kaki, membiarkan air hujan membasahi tubuhku. Ada kebebasan yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
Tapi kini, aku hanya bisa menikmatinya dari balik jendela, sambil menggenggam cangkir teh. Mungkin karena tubuh ini tak lagi setangguh dulu, atau mungkin karena hati ini terlalu penuh dengan beban yang membuatku lebih suka diam.
Di halaman, rumput-rumput yang biasanya kering kini segar kembali, berdiri lebih tegak, seperti manusia yang kembali mendapat semangat hidup.
Daun-daun pepohona di sudut halaman bergetar setiap kali tersentuh tetes hujan. Ada seekor burung kecil berteduh di cabang yang lebih rendah, bulunya mengembang, matanya menatap kosong ke arah udara yang kelabu.
Langit pagi itu seperti selimut abu-abu yang tebal. Cahaya matahari benar-benar tertutup, membuat suasana semakin sendu.
Suara kendaraan di jalan terdengar lebih pelan dari biasanya, seolah semua orang memperlambat laju mereka karena hujan. Di kejauhan, samar-samar kudengar bunyi klakson yang cepat mereda, kalah oleh suara hujan yang mendominasi.
Aku menatap kembali cangkir di tanganku. Asapnya sudah tak lagi setebal tadi, menandakan teh itu mulai mendingin. Tapi rasanya tetap hangat di lidah dan dada. Hangat yang berbeda, hangat yang menenangkan hati meski di luar sana udara begitu dingin.
Hujan membuat waktu seakan berjalan lebih lambat. Aku masih duduk di kursi yang sama sejak tadi, hanya berganti posisi, memandangi sudut-sudut halaman yang biasanya tak begitu kupedulikan.
Ternyata ada banyak hal kecil yang baru kusadari: bunga kertas yang mengering, lumut tipis di tepi selokan, bahkan retakan kecil di tembok pagar. Semua itu terlihat jelas saat hujan, mungkin karena suasana ini membuatku lebih peka.
Sesekali pikiranku kembali pada masalah yang sedang kuhadapi. Pertarungan di dalam kepala ini belum juga usai, tetapi hujan seperti memberi jeda.
Aku seperti diberi izin untuk berhenti sejenak, menghela napas panjang, dan membiarkan semua rasa penat mengendap.
Di dapur, kudengar suara air menetes dari ember yang bocor. Suara itu berulang-ulang, tapi anehnya tidak mengganggu. Justru berpadu dengan musik alam dari hujan yang terus mengguyur.
Aku kembali melirik tiang bendera di atas rumah. Bendera itu tetap diam, basah kuyup, warnanya sedikit pudar, tapi tetap merah dan putih. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Seperti melihat seseorang yang sudah lelah tapi tetap bertahan.
Waktu berjalan, dan hujan masih turun dengan sabarnya. Aku menghabiskan sisa teh dengan perlahan, menatap kosong ke arah jalan yang becek. Anak-anak tetangga sudah tidak ada yang bermain di luar.
Mereka mungkin duduk di dalam rumah, menonton televisi, atau bermain gawai. Berbeda sekali dengan masa kecilku yang justru menunggu hujan untuk keluar berlari-larian
Pagi semakin gelap, lampu-lampu mulai menyala satu per satu. Tapi hujan belum juga reda. Aku tidak keberatan. Dalam hati, aku malah berharap hujan ini bertahan sedikit lebih lama. Karena setiap tetesnya seperti membawa sedikit beban keluar dari pikiranku.
Hujan pagi ini mungkin tidak istimewa bagi banyak orang. Tapi bagiku, ia adalah jeda yang kubutuhkan, sejenak untuk bernapas, untuk merasakan, untuk mengingat bahwa hidup tidak hanya tentang berlari mengejar sesuatu. Kadang, kita juga butuh diam, mendengarkan, dan membiarkan hujan berbicara.
Ditulis: Fanny Indra Pratama
Tidak ada komentar :
Posting Komentar